Kerusakan lingkungan menjadi persoalan paling menegangkan akhir-akhir ini. Lingkungan sekitar yang dulunya bersahabat dan tak membuat ricuh kenyamanan hidup manusia telah berubah menjadi musuh yang mengganggu dan bahkan merenggut nyawa manusia. Pelbagai bencana dari tahun ke tahun, mulai dari tsunami, longsor, luapan lumpur Lapindo, banjir dan pelbagai bencana alam lainnya. Hanya saja konsekwensi ini belum menjadi pelajaran berharga untuk memberbaiki pola intraksi antar manusia dan lingkungan secara lebih etis. Sudah jelas dibalik bencana-bencana yang selama ini mengguyur masyarakat Indonesia tak lepas dari kegagalan manusia dalam berintraksi dengan alam. Pola intraksi yang menjadikan lingkungan sebagai subyek yang harus ditaklukkan dan manusia sebagai subyek penakluk menjadi paradigma masyarakat kebanyakan.
Dominasi pandangan antroposentrisme, menempatkan manusia di atas alam, telah menjadikan manusia sangat berkuasa yang bisa melakukan apa saja demi kepuasan sesua dengan kapasitasnya. Kalau ia menjadi pengusaha maka ia akan mengekplorasi alam sesua dengan kepentingan bisnisnya, dan kalau ia menjadi penguasa akan menggulirkan kebijakan yang kurang menguntungkan bagi keseimbangan alam tak jauh beda juga dengan masyarakat. Jadi pada prinsipnya krisis ekologis yang selama ini terjadi akar pesoalannya terletak pada bangunan struktur nilai hidup manusia yang timpang dalam memandang dan berintraksi dengan alam Keseimbangan alam pun seakan sudah berada diambang pintu. Menurut laporan FAO (Badan Pangan Dunia), Indonesia menghancurkan hutan kira-kira 51 kilometer persegi setiap hari. Artinya kira-kira seluas 300 lapangan sepak bola yang hancur setiap Jam yang rusak karena penebangan hutan yang tidak terkendali. Tak heran kalau kemudian KOMPAS, 4 Mei 2007 berdasarkan data FAO dalam kurun waktu 2000-2005 menurunkan tulisan berjudul “Indonesia masuk “rekor Dunia’; tercatat sebagai negara penghancur hutan tercepat di Dunia.
Padahal upaya mencegah tindakan serakah dan tamak itu kerap dikumadangkan dan di khutbahkan di pelbagai mimbar dan masjid. Pemerintah dengan nalar hukumnya telah menegaskan ihwal hukuman berat bagi mereka yang dengan sengaja merusak lingkungan. Akhir-akhir ini juga muncul wacana ihwal fiqh lingkungan hidup.usaha itu secara heroik diteriakkan hanya merubah paradigma dan prilaku masyarakat demi kelestarian dan keseimbangan lingkungan hidup.
Hanya saja usaha itu belum sepenuhnya berubah paradigma dan pola masyarakat secara sublim. Pelbagai upaya yang selama ini dilakukan masih sebatas hukum formal yang belum menyentuh secara rill dengan kesadaran. Sebut saja Fiqh lingkungan hidup yang selama ini dikumandangkan oleh banyak kalanagan ahli Fiqh. Yang menjadi acuan utama ketika berbicara Fiqh adalah halal dan haram yang sanag formal dan kaku tanpa banyak menyentuh ranah kesadaran.
Maka kerusakan lingkuangan yang kian hari kian parah membutuhkan tumbuhnya kesadaran semua pihak untuk bahu membahu mengatasinya. Permasalahan lingkungan tidah hanya butuh ketegasan hukum dan kesigapan pemerintah, peran pendidikan untuk menumbuhkan paradigma peserta didik yang berwawasan lingkungan menjadi program jangka panjang yang sangat vital dalam menopang masa depan ummat manusia. Karena persoalan kerusakan lingkungan banyak disebabkan oleh cara pandang dan paradigma yang salah terhadap lingkungan. Mereka tidak sadar ihwal posisi dirinya dan lingkungan. Maka tumbuhnya kesadaran kolektif ihwal peran lingkungan hidup dalam menopang masa depan adalah kunci awal untuk memulihkan prilaku-prilaku eksploitatif terhadap lingkungan.
Pendidikan sangat dituntut perannya untuk melahirkan manusia-manusia yang mempunyai kesadaran lingkungan. Pendidikan harus progresif dan respek terhadap dinamika perkembangan zaman. Dulu sebelum Indonesia merdeka pendidikan berperan dalam mengeluarkan Indonesia dari jeratan kolonialisme dengan gaya menghadapi pendidikan kolonial yang menindas, maka saat ini, setelah penjajahan kolonial bubar dan beralih terhadap persoalan-persoalan baru, termasuk persoalan lingkungan, pendidikan juga dituntut untuk merespon persoalan-persoalan realitas sosial. Realitas terjadinya ketidakseimbangan eksosistem yang merupakan bagian dari ketidakbecusannya manusia berintraksi dengan lingkungan secara tidak langsung telah mendesak pendidikan kita untuk menjadikan lingkungan sebagai bagian dari bahan ajar pendidikan kita. Dengan demikian, pendidikan Islam berwawasan lingkungan adalah satu agenda mendesak untuk lebih ditindak lanjuti, baik secara konseptual maupun secara praksis dalam konteks pendidikan di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar